Hari lahir pancasila 1 juni adalah
hari yang amat sakral bagi Negara Indonesia dikarenakan
1 juni adalah hari dimana Indonesia di tentukan dasar dan cita-cita
perjuangannya yaitu lima dasar yang termaktub dalam ideology kita Pancasila
oleh BPUPKI yang kemudian terujar langsung dari mulut Sang Proklamator saat
pidatonya pada 1945. Moment ini yang kini sah dijadikan hari libur nasional
oleh bapak presiden kita Ir. Joko Widodo adalah suatu berkah bahwa kita telah
terlepas dari segala kesibukan pekerjaan sehingga sangat tidak wajar jika kita
tidak ingat akan hari lahirnya Pancasila. Peran Pancasila sebagai ideology
Negara memang sudahseharusnya di maknai oleh seluruh warga Indonesia sehingga
pemahaman akan kehidupan bernegara menjadi sepaham dengan apa yang di
cita-citakan dan dicapai secara kolektif atau gotong-royong sebagaimana ciri
khas orang Indonesia.
Di hari ini pada tahun 2018, tak
sedikit juga menurut saya orang dan atau golongan yang ingat betul bahwa 1 juni
adalah hari lahir pancasila, oleh karena itu dengan ke kreatif an masing-masing
mereka menggelar acara semacam “memperingati hari lahir pancasila”. Dalam hari
peringatan objeknya adalah orang yang lupa lalu di ingatkan bahwa Pancasila
dilahirkan pada 1 Juni 1945, padahal yang paling substansial dari hari lahir
pancasila adalah apa yang terucap dalam pidato Bung Karno 1 juni 1945 yaitu “Sekarang
banyaknya prinsip: kebangsaan, internasionalisme, mufakat, kesejahteraan, dan
ketuhanan, lima bilangannya. Namanya bukan Panca Dharma, tetapi saya namakan ini
dengan petunjuk seorang teman kita ahli bahasa - namanya ialah Pancasila. Sila
artinya asas atau dasar, dan di atas kelima dasar itulah kita mendirikan negara
Indonesia, kekal dan abadi.” adalah apa yang harus diperingati dari hari
lahirnya pancasila 1 juni. Sangat jelas sekali bahwa yang harus kita ingat
bukanlah kapan Pancasila dilahirkan melainkan mengapa 1 juni 1945 Pancasila
dilahirkan? apakah Pancasila itu? Bagaimana Pancasila diaplikasikan? Sudah
berapa decade kita hanya bercita-cita? Pendalaman pendalaman kritis seperti
itulah yang harus kita olah sehingga bangsa dan Negara kian sadar bahwa usia
semakin tua dan bisa mengoreksi serta mengukur apa saja yang sudah dan belum dilakukan
diusia tuanya.
Jika kita
kaitkan dengan agenda reformasi kita yang sudah 20 tahun berjalan sementara
Indonesia belum juga menempuh sosialisme. Lantas apakah yang akan kita perbuat
dengan hanya mengingat tanggal tanpa mengingat dasar dan tujuan bernegara ini.
Bukan bermaksud menyudutkan karenapun saya juga menyepakati adanya bahkan
sangat lumrah kita jumpai bahwa orang tak tahu lagi apa itu pancasila kecuali
tentang patung garuda. Perlu diingat bahwasannya revolusi belum selesai sama
sekali, tinggal bagaimana kita berkehandak ataupun tidak untuk melanjutkan
kobarnya api yang menyala-nyala tak menentu besar kecilnya ini. Jangan
terlupakan bahwa di atas kelima dasar itulah Negara Indonesia berdiri kekal dan
abadi dengan semangat perjuangan dan pemikiran yang tiada akan ada
habis-habisnya dari waktu-kewaktu maupun zaman ke zaman. Lalu dimana peran
intelektual untuk mendorong jalannya perjuangan? Dalam hal ini saya sangat
setuju dengan pendapat Rocky Gerung bahwa akademisi hanya berpihak kepada akal
sehat dan justru karena itu ia memberi kritik. Mungkin kalimat “kritik” mengalami
penyempitan arti di masyarakan sehingga terdengar sangat menyerang bahkan bisa
dinilai mencari-cari kesalahan. Padahal arti kata “kritik” sendiri memiliki
banyak arti menurut KBBI adalah “kecaman atau tanggapan, kadang-kadang disertai uraian dan
pertimbangan baik buruk terhadap suatu hasil karya, pendapat, dan sebagainya”. Terlepas dari itu mengapa akademisi atau
intelektual harus berpihak pada akal sehat, menurut saya sangat cocok sekali
dengan ucapan Tan Malaka bahwa“Idealisme adalah kemewahan terakhir yang
hanya dimiliki oleh pemuda.” Meskipun dapat dibedakan subjek antara kata
“pemuda” dan “akademisi”, menurut saya dua pendapat diatas memiliki korelasi
yang mengerucut pada intelektual. Kembali kepada topic bahasan mengapa
keberpihakan intelektual adalah kepada akal sehat? karena akal sehat dan
idealismlah yang menganalisa secara kritis problema-problema yang ada sehingga
dapat memilah manakah yang hal-hal yang menghambat dan mendorong terbentuknya
ke idealan mengingat bahwasannya kita mencita-citakan sosialisme sebagai Negara
yang ideal. Maka jelaslah sudah bahwa untuk mengoptimalkan peran intelektual
adalah dengan tidak membatasi minat belajar selebar dan sedalam-dalamnya dengan
dikawal oleh norma-norma yang tertanam murni pada Pancasila dan Marhaenisme.
Write By: P. A. Ikhsanudin | Surabaya, 5 Juni 2018
https://pelatdise.wixsite.com/barakata/blog/juangkan
https://pelatdise.wixsite.com/barakata/blog/juangkan
Komentar
Posting Komentar