Langsung ke konten utama

“9 Buku yang Harus Dibaca Kader GMNI Agar Tidak Cuma Bisa Teriak Merdeka”


Selamat Hari Buku Nasional
Oleh
Sarinah Ulia, Sarinah Rona dan Bung Riski.
DPK GMNI FMIPA Surabaya


Rahayu!!!

Di hari buku kali ini kami tidak akan memunculkan fakta yang nampaknya sudah sangat mafhum diketahui banyak orang mengenai peringkat minat baca di Indonesia. Sebab tidak akan kami biarkan berita buruk mengganggu suasana suka cita kami di Hari Raya Buku Nasional ini. Baiklah, selamat hari raya untuk semua orang yang menggemari membaca atau yang sedang berusaha menggemarinya (seperti kami).
Selain diperingati setiap tanggal 23 April dalam skala dunia, Hari raya buku juga diperingati oleh Negara kami yang miskin literasi setiap tanggal 17 Mei, dua puluh empat hari setelahnya. Ditetapkan karena bertepatan dengan peringatan pendirian Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (Perpusnas). Meskipun ada atau tiada Hari Buku Nasional, sepertinya membaca adalah kebutuhan nomor terakhir yang diprioritaskan masyarakat Indonesia khususnya mahasiswa yang besar kepala menyoal pergerakan padahal ia jarang membaca.
Maka sebagai Kader dan Anggota GMNI, agar tidak memalukan saat menggelorakan kata merdeka padahal nirguna karena dilandasi pengetahuan yang kosong, maka wajib bagi kita (kami juga) membaca buku-buku yang sudah dirangkum dibawah ini:

1. Dibawah Bendera Revolusi (Jilid I & Jilid II)

“Nasionalisme itu ialah suatu itikad; suatu keinsyafan rakjat bahwa rakjat itu ada satu golongan, satu "bangsa"!”
(Bung Karno)

Buku ini ditulis oleh Bung karno dan dicetak pertama kali pada tahun 1959. Buku Dibawah Bendera Revolusi yang biasanya disebut-sebut oleh Kader GMNI dengan sebutan DBR disusun dan dicetak oleh panitia khusus yang diketuai Muallif Nasution, yang saat itu bertugas sebagai sekretaris pribadi Presiden Sukarno. Buku ini berisi 20 pidato peringatan  17 Agustus  Presiden Sukarno kurang lebih selama 20 tahun . Sejak  tahun 1946 hingga 1964. Presiden Sukarno bukan saja seorang orator ulung namun juga seorang pemikir jangka panjang  yang brilian, bila disimak lebih dalam pidato pidato Presiden Sukarno sangat bernas. Isinya begitu menggugah semangat patriotisme. Ada semangat yang menyala nyala. Optimisme yang padu dengan pikiran genuin seorang pemimpin bangsa.

2. Penyambung Lidah Rakyat

“Aku ini bukan apa-apa tanpa rakyat. Aku besar karena rakyat, aku berjuang karena rakyat dan aku penyambung lidah rakyat.”
(Bung Karno)

Disebut sebagai PLR, buku otobiografi ini ditulis oleh Cindy Adams dan Bung Karno. Buku yang ditulis dengan gaya berbicara Bung Karno itu merupakan perjalanan panjang beliau dari mulai dilahirkan saat fajar menyingsing, perjuangannya dengan kemiskinan di masa kolonialisme Belanda, ‘pertapaannya’ dari penjara ke penjara, pidatonya yang meledak-ledak di hadapan masa, proklamasi, agresi militer belanda hingga firasat akhirnya akan kematian.
Namun, buku ini lebih seperti konfirmasi atas pertanyaan-pertanyaan besar rakyat Indonesia : Apakah Bung Karno Seorang Komunis? Apakah Bung Karno seorang kolaborator Jepang? Apakah Bung Karno Seorang penggila wanita? Untuk apa membangun gedung-gedung mewah ketika rakyat merasa lapar? Mengapa berkonfrontasi dengan Malaysia? Mengapa keluar dari  Perserikatan Bangsa  Bangsa? Mengapa menerima bantuan dari Kremlin? Mengapa Bung menjadi Presiden seumur hidup? Yang bagi kebanyakan orang menimbulkan rasa benci yang tidak lagi proprosional.

3.  Indonesia Menggugat

“Bebek berjalan berbondong-bondong, akan tetapi burung elang terbang sendirian”
(Bung Karno)

Indonesia Menggugat adalah pidato pembelaan yang dibacakan oleh Soekarno pada persidangan di Landraad, Bandung pada tahun 1930. Soekarno bersama tiga rekannya, yaitu Gatot Mangkupraja, Maskun, dan Supriadinata yang tergabung dalam Perserikatan Nasional Indonesia dituduh hendak menggulingkan kekuasaan Hindia Belanda.
Pidato pembelaan ini kemudian menjelma menjadi suatu dokumen politik menentang kolonialisme dan imperialisme.  Buku ini telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa asing. Salah satunya, dalam bentuk bahasa Belanda yang dieditor oleh Sutan Sjahrir.

4. Sarinah

“Sesungguhnya kita harus belajar insaf, bahwa soal masyarakat dan Negara adalah soal laki-laki dan perempuan, soal perempuan dan laki-laki. Dan soal perempuan adalah soal masyarakat dan Negara”.
(Bung Karno)

Buku Sarinah ini pertama kali terbit pada November 1947. Isinya merupakan kumpulan bahan pengajaran Bung Karno dalam kursus wanita. Melalui buku ini, Bung Karno mengkritisi kebanyakan laki-laki yang masih memandang perempuan sebagai "suatu blasteran antara Dewi dan seorang tolol." Dipuji-puji bak Dewi, sekaligus dianggap tolol dalam beberapa hal lainnya.

Meskipun juga tidak menyetujui gerakan feminisme yang kelewat batas di Eropa saat itu, Bung Karno menekankan pentingnya bagi para perempuan untuk mengambil bagian dalam pembangunan Negara Indonesia. Kepada Sarinah-Sarinah masa kini, Bung Karno lantang berpesan, "Hai wanita-wanita Indonesia, jadilah revolusioner, - tiada kemenangan revolusioner, jika tiada wanita revolusioner, dan tiada wanita revolusioner, jika tiada pedoman revolusioner!"

Buku Sarinah ini juga sebetulnya merupakan hasil dari ceramah Soekarno saat membuka kelas bagi perempuan pada saat itu untuk memahami peran mereka sebagai perempuan. karena menurut Soekarno seperti dalam buku ini, "Dan oleh karena soal perempuan adalah soal masyarakat, maka soal perempuan adalah sama tuanya dengan masyarakat; soal perempuan adalah sama tuanya dengan kemanusiaan. Atau lebih tegas: soal laki-laki-perempuan adalah sama tuanya dengan kemanusiaan."

5.  Madilog

“Bila kaum muda yang telah belajar di sekolah dan menganggap dirinya terlalu tinggi dan pintar untuk melebur dengan masyarakat yang bekerja dengan cangkul dan hanya memiliki cita-cita yang sederhana, maka lebih baik pendidikan itu tidak diberikan sama sekali" - Tan Malaka ”

Buku ini ditulis oleh Tan Malaka pada 15 Juli 1942 sampai 30 Maret 1943 di Rawajati pabrik sepatu Kalibata, Cililitan Jakarta. Dalam bukunya, Tan Malaka bercerita bahwa polisi yang bernama Junsa telah datang sebanyak dua kali untuk menggeledah pondok tempatnya tinggal. Tapi beruntung sekali Madilog terhindar dari mata polisi Junsa karena tulisan Madilog sangat kecil dan disimpan di tempat yang tidak menarik perhatian.Kemudian Madilog dan pengarangnya berpetualang atas dasar perlindungan dan keberlangsungan hidup. Menyusuri  Banten, Jawa Tengah bahkan di penjara di Surabaya, 3 tahun setelahnya Madilog bisa sampai kepada para pembacanya sampai hari ini.

6. Das Kapital (I, II, III)

Die Arbeit ist also eine Ware, die ihr Besitzer, der Lohnarbeiter, an das Kapital verkauft. Warum verkauft er sie? Um zu leben.
-Karl Marx

Dalam proses menulis Das Kapital, Karl marx mendapatkan berbagai macam rintangan; krisis pemecatan, penyakit bisul kronis dan kemiskinan. Marx kemudian memilih “Kapital” sebagai judul bukunya pada tahun 1862. Marx menyusun manuskripnya saat malam hari di perpustakaan untuk memastikan kelayakan penemuannya. Proyek penulisan yang awalnya ia rencanakan berjumlah 6 volume, ia kurangi menjadi 3 volume dengan harapan diterbitkan secara bersamaan, Marx kecewa karena karyanya tertunda bukan karena pertimbangan teoritis tapi karena alasan fisik dan borjuis melalui bisul-bisul yang menyiksanya. Pada April 1867, naskah Marx selesai dan mulai dijual pada September 1867.

7. Lahirnya Pancasila

“Gotong-royong adalah pembantingan-tulang bersama, pemerasan-keringat bersama, perjuangan bantu-membantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan semua.”
(Bung Karno)

Lahirnya Pancasila adalah buku yang berjudul sama dengan pidato yang disampaikan oleh Soekarno dalam sidang Dokuritsu Junbi Cosakai (bahasa Indonesia: "Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan") pada tanggal 1 Juni 1945. Dalam pidato inilah konsep dan rumusan awal "Pancasila" pertama kali dikemukakan oleh Soekarno sebagai dasar negara Indonesia merdeka. Pidato ini pada awalnya disampaikan oleh Soekarno secara aklamasi tanpa judul dan baru mendapat sebutan "Lahirnya Pancasila" oleh mantan Ketua BPUPKI Dr. Radjiman Wedyodiningrat dalam kata pengantar buku yang berisi pidato yang kemudian dibukukan oleh BPUPKI.

8. Amanat Penderitaan Rakyat (Ampera)

Buku ini merupakan buku yang langka, Tidak banyak ulasan mengenai buku Amanat Penderitaan Rakyat (Ampera). Apabila beruntung mendapatkan buku ini di toko buku bekas atau menerima hibah dari seseorang maka simpan baik-baik dan tulis atau sampaikan isi buku ini. Supaya tulisan ini juga bisa lebih kaya dengan adanya review atau sejarah dari buku Ampera.

9. Tudjuh Bahan Pokok Indoktrinasi

Buku ini berisi kumpulan-kumpulan bahan pokok indoktrinasi yang dijadikan pegangan dasar Negara dalam mewujudkan sosialisme Indonesia.
Tujuh bahan-bahan pokok indoktrinasi tersebut adalah:
1.      "Lahirnya Pancasila", Pidato Bung Karno tanggal 1 Juni 1945.
2.      Udang-undang Dasar 1945 beserta penjelasannya.
3.      Manifisto Politik, beserta perinciannya dari DPA.
4.      Pidato Presiden tanggal 17 Agustus 1960, yang terkenal dengan nama "Jarek", beserta perinciannya dari DPA.
5.      Pidato Bung Karno di muka Sidang Umum PBB tanggal 30 September 1960, beserta perinciannya dari DPA.
6.      Penjelasan Manipol dan Usdek, rangkaian pidato-pidato radio, Ketua Panitia Pembina Jiwa Revolusi, H. Roeslan Abdulgani.
7.      Amanat Pembangunan Presiden pada Sidang Depernas tanggal 28 Agustus 1959, beserta Buku Ringkasan Pembangunan Semesta


Nah itu dia ke 9 buku yang perlu dibaca oleh Bung dan Sarinah. Berat-berat bahasanya? Iya, kami benarkan. Tapi hal tersebut karena pembaca belum terlalu sering membaca dan mengikuti gaya penulisan masing-masing penulis di atas. Kalau belum biasa atau belum punya habit membaca, tips dari kami coba dulu dengan membaca karya-karya yang ringan seperti novel, cerpen, atau karya sastra lainnya. Cari tempat yang nyaman versi diri sendiri dalam kegiatan membaca. Jangan coba-coba kalian membaca sambil kayang, bikin capek dan pusing.

Lebih bagus lagi kalau membuat sebuah klub buku. Di DPK GMNI Fmipa, kami sudah punya  satu klub buku dengan nama "Klub Buku Sarinah" (tidak menerima protes). Baiklah, semoga saran-saran tidak menjadi nirguna. Selamat membaca, selamat hari raya buku nasional, selamat berpetualang dengan buku!
Seperti kata Joseph Brodsky (penyair kelahiran rusia), “Ada kejahatan yang lebih kejam daripada membakar buku. Salah satunya adalah tidak membacanya”

Merdeka!!!
GMNI Jaya!!!
Marhaen Menang!!!


Sumber:


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sekilas Marhaenisme