Pasca peristiwa Gestok
(Gerakan Satu Oktober) 1965, Orde baru (Suharto), berupaya untuk menyingkirkan
pengaruh komunis di bumi Indonesia, dengan menjadikan PKI sebagai kambing hitam
terhadap peristiwa pemberontakan tersebut. Dengan dalih mengatakan dan menuding
bahwa PKI lah dalang daripada peristiwa pemberontakan Satu Oktober 1965 , maka
Negara, dalam hal ini Presiden Suharto punya alasan kuat serta kendali penuh
untuk melakukan eksekusi terhadap PKI secara keseluruhan, tanpa melalui
pengadilan terlebih dahulu dan menimpakan seluruh kesalahan pada PKI
Eksekusi itu dilakukan
oleh suharto dengan cara menembak mati orang orang yang terlibat dan diduga
sebagai anggota dan simpatisan PKI. Dari data yang didapat, bahwa sekitar
kurang lebih 500 ribu - 3 juta nyawa melayang, peristiwa tersebut terjadi di
Jawa dan Bali
Sebuah peristiwa yang
dapat disebut sebagai Genosida / pembantaian massal, menjadi sejarah kelam
dalam masa pemerintahan orde baru. Kemudian setelah Suharto berhasil menumpas
habis seluruh anggota PKI hingga tak tersisa, ia belum selesai sampai disitu.
Selanjutnya Suharto menjadikan Komunisme sebagai ideologi terlarang lewat TAP
MPRS no 25 tahun 1966
Sungguh sebuah usaha
yang sangat sempurna untuk berkuasa tanpa ada gangguan dari rival politiknya.
Suharto menyadari bahwa saat itu PKI punya pengaruh yang cukup besar dan
merupakan salah satu partai terbesar di Indonesia, sehingga supaya ia dapat
berkuasa ia berusaha menyingkirkan Komunisme sampai ke akarnya meski harus
menggunakan cara cara yang bisa dibilang kejam, sadis dan tidak
ber-prikemanusiaan
Setelah PKI [komunisme]
dan pengaruhnya berhasil disingkirkan dari Indonesia, ternyata tidak juga
membuat Suharto merasa puas. Lewat film
G30S ia berusaha untuk menancapkan
doktrinnya serta melakukan propaganda massal kepada seluruh rakyat Indonesia
agar mereka ‘Phobia’ dan benci terhadap komunisme . Masyarakat dibuat seolah
tak berdaya lewat obat bius yang diberikan oleh soeharto yang efeknya dapat
membius kesadaran seluruh rakyat Indonesia dan kemudian dapat dikendalikan
untuk memenuhi nafsu kekuasaan soeharto dalam melanggengkan kediktator-fasis’an
nya.
Hal tersebut bisa
menjadi pelajaran sekaligus tamparan bagi kita, dan upaya untuk menyadarkan
betapa kekuasaan dapat menjadi sebuah ‘jembatan emas’ bagi siapapun yang ingin menguasai ,
melakukan ‘control public’ dan menancapkan pengaruh serta doktrin kepada
khalayak ramai untuk dapat mengikuti kemauan sang penguasa. Jauh sebelum itu,
seorang diplomat dan politikus Italia yang juga seorang filsuf, yakni Niccolo
Machiavelli dalam karyanya yang berjudul ‘Il Principe’ berpandangan bahwa
kekuasaan/berkuasa sebagai sebuah tujuan. Apabila ada yang mengatakan bahwa
dengan mendapat kekuasaan, maka itu akan mempermudah meraih tujuan-tujuan lain
seperti kesejahteraan social, penyebaran agama, dan pendidikan moral yang
terarah, itu tidaklah benar. Karena yang terjadi justru sebaliknya. Baik itu
moral atau agama adalah cara-cara yang bisa digunakan untuk mendapatkan
kekuasaan. Singkatnya kekuasaan haruslah diperoleh, digunakan dan dipertahankan
semata-mata demi kekuasaan itu sendiri. Intinya ialah bagaimana ia dapat
mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan tersebut.
Dalam poin lain
misalnya, Machiavelli mengatakan bahwa Negara yang kuat adalah Negara yang
mempunyai militer yang kuat. Oleh sebab itu, seorang kepala Negara hendaklah
berkonsentrasi bagaimana membangun basis kekuatan militer yang tangguh dalam
upaya untuk mempertahankan kekuasaannya. Karena itulah dalam mengkaitkan
pokok-pokok pikiran Machiavelli tentang kekuasaan dengan upaya soeharto untuk
meraih sebuah kekuasaan absolut {baca: Diktator} , maka kita bisa menyimpulkan
bahwa Soeharto dalam upaya nya meraih kekuasaan, ia menggunakan berbagai macam
cara seperti mengkambing-hitamkan lawan politiknya, kemudian membuat sebuah
skenario yang cukup sempurna sebagai upaya untuk melegitimasi kudetanya yang
mutakhir terhadap presiden soekarno. Yang kemudian setelah ia berkuasa, ia
menggunakan cara-cara militerisme yang terkesan represif dan kejam untuk dapat
melanggengkan kekuasannya, dan untuk membentengi dirinya dari upaya kudeta.
Write By: Ivan Taffarel Almeyda | Surabaya, 17 Oktober
2018
Sumber rujukan :
Machiavelli, Niccolo,
1513, Il Principe, Yogyakarta :
Narasi
Komentar
Posting Komentar