Pertama-tama tulisan ini hadir
untuk dikritik para pembaca karena dengan sangat sadar saya meyakini argument yang saya bangun penuh dengan
kekurangan karena itu saya sangat berharap datangnya kritik untuk menguji argumentasi
ini.
Dengan pengamatan saya akan
adanya Socmed War dalam berjalannya demokrasi hari ini saya ingin mengungkapkan
gagasa-gagasan dari pengamatan saya yang tentunya juga pengguna social media.
Di mulai dari peristiwa pemilihan gubernur Jakarta ketika Ahok diburu-buru oleh
kaum yang mengaku gerakan ke-Islaman karena ucapannya tentang surat Al-Maidah
dalam Al-quran sebagai alat manipulasi
massa, peristiwa ini tidak menunggu lama untuk meletuskan Aksi 212 sebagai
tindakan “Bela Islam”. Ucapan Ahok yang mungkin dimaksudkan adalah untuk menangkal
pengaruh dogmatis Islam yang mungkin bisa digunakan oleh lawan politiknya kala
itu yaitu PKS malah menjadi petaka yang lebih besar baginya. Ke viralan video
dokumentasi ucapan Ahok yang sangat merata dan cepat dalam pengamatan saya ke
viralan itu bertindak dengan sistematis dan tidak serta merta alamiah dengan
banyaknya postingan oleh banyaknya akun anonym atau akun bodong. Serentak dan
viral sehingga menuju kepala-perkepala pengguna sosmed. Sedangkan kondisi masyarakat di Indonesia
adalah sebagai Negara berpenduduk muslim terbesar sedunia. Masalahnya secara
merata penduduk indonesia mengalami krisis pendidikan sehingga kebanyakan juga
warga kita memiliki pola rasionalisasi yang minim dan afeksi berperan besar
dalam penentuan sikap pribadi. Dalam pengalaman saya belajar agama saya dididik
dengan dogma sehingga kebenaran ditemukan melalui satu dimensi saja, karena
lingkungan memilih tidak memberi
kebebasan berpikir dan dikungkung antara percaya artinya surga dan
bertanya artinya neraka. Kebiasaan yang dari kecil kita diiming-iming surga
cenderung membentuk kepribadian yang oportunis dan kebenaran adalah dirasakan
bukan dipikirkan. Pembunuhan rasio seperti itulah yang menurut saya menjadikan
manusia sudah tidak adil dalam pikiran sehingga menjadi intoleran akan
perbedaan informasi karena dirasa tidak menguntungkan. Bagi saya keuntungan
oleh rasa adalah sebuah hasrat sedangkan keuntungan berdasarkan pikirlah yang
disebut manfaat. Dalam aksi yang dilontarkan Ahok dan disampaikan oleh sosmed kepada kepala-kepala
menimbulkan reaksi yang heterogen tergantung kualitas kepribadian, maka
ekspresi dari kalimat yang dilontarkan Ahok memiliki sensitivitas yang
berbeda-beda karena tergantung kemampuan perseorangan dalam menginterpretasikannya.
Dengan tercerminkannya interaksi antara video dan pengguna dalam sosmed dengan
reaksi dan sikap yang reflektif dikubu Kontra mengartikan bahwa ucapan tersebut
diterima dengan sangat tajam sehingga langsung terasa perih lalu menghasilkan
respon yang bersifat negasi secara keseluruhan. Respon Aksi 212 yang terbukti
sangat massif menjelaskan bahwa argument Ahok bersifat offensive terhadap
mayoritas kalangan muslim. Pola-pola komunikasi seperti itu terbukti sangat
efektif dalam menemukan dialektika yang alhasilpun Majelis Ulama Indonesia juga
menfatwa bahwa Ahok bersalah dan Meja Hijau juga turut mendakwa Ahok sebagai
penista Agama. Jadi bukti kesalahan Ahok cukup bersifat objektif.
Namun yang disayangkan dari
peristiwa tersebut adalah hingga hari ini residu masih tersisah dan dalam skala
nasional meskipun Ahok sudah selesai dengan putusan pengadilan. Masyarakat yang
sempat mengalami peristiwa dari ledakan informasi tersebut masih
terngiang-ngiang dalam memorinya dan mungkin sebagian masih terendap dalam
memori bawah sadar sehingga keadilan oleh pengadilan terasa belum cukup karena
penyebaran informasi Ahok yang diterima dan cukup mencederai afeksi masyarakat
kontra sehingga sulit dipulihkan karena rasio bukan sebagai pengatur
ritme-ritme keputusan dalam kepribadian melainkan afeksi dan emosilah yang
beroligarki didalam kejiwaan pribadi. Meski merasa baik untuk merespon tindakan
Ahok seakan akan mata harus dibalas mata adalah tindakan mengembalikan yang
lebih atau yang kurang kembali ketitik normal atau semula megartikan bahwa
mereka tidak bisa memaknai dendam secara mendalam, memang dendam dalam praxis
tanpa memahami teori ibarat bekerja tanpa belajar. Tidak lama kemudian setelah
isu itu hampir meredam dan dilupakan, bangkit isu bahwa Komunisme hadir kembali
di Indonesia yang menjadikan pemanggilan ingatan yang sangat jauh di belakang
untuk hadir hari itu tentang bertentangnya dua ideology besar di Indonesia
antara Islam dan Komunisme dimasa lalu. Gembar-gembor PKI menguasai Sosmed yang
dalam ingatan bangsa kita dengan penggambaran bahwa PKI adalah pembantai kaum
Muslim dan anti muslim dengan actor PKI adalah identik dengan ras Tionghoa
beberapa decade lalu menjadikan muslim seakan-akan diterror oleh kehadiran PKI
padahal eksistensi PKI di Indonesia tidak terbukti secara Obektif ada dan hanya
angin-angin isu belaka. Peristiwa lanjutan ini menjadikan Kaum Muslimin yang
sensitive menjadi Solid karena kewaspadaan akan trauma yang sama. Melalui
kewaspadaan dan insting yang otomatis tajam, dengan was was masyarakat
menodongkan label PKI kesegala arah tanpa indikasi yang jelas karena ketenangan
jiwa sudah terganggu akibat bebasnya data keseraman PKI yang di frame oleh ORBA
menguasai otak kepala-perkepala menjadikan frekuensi menjadi sangat padat,
defensive dan offensive dengan afeksi dan prasangka tanpa diperhitungkan oleh
rasio. Beberapa waktu lalu saya mendengarkan ceramah Komunitas Salihara di
Youtube yang kurang lebih berjudul “Keutamaan dari keutamaan” di situ
disebutkan bahwa tingkatan tertinggi dari manusia ialah ketika rasio berada di
atas afeksi dan spiritual saya sangat menyepakati hal tersebut karena pandangan
saya ketika afeksi diunggulkan diatas semua pengambilan keputusan atau sikap
dari individu berdasarkan penghitungan yang kurang terukur karena informasi
yang di terima kurang berproses dalam keseimbangan respon dari data sadar dan
bawah sadar. Misal orang memiliki trauma karena pernah kecelakaan dan data itu
tentunya tersimpan di memori bawah sadar sehingga orang tersebut sangat anti
terhadap jalan raya dan sangat anti terhadap jalan raya sehingga kemana-mana ia
memilih untuk berjalan kaki. Untuk keperluan dalam masa ini terutama dalam
jarak jauh orang tersebut pasti membutuhkan kendaraan yang melintasi jalan raya
untuk sampai kepada tujuan, padahal jika diukur tanpa perasaan trauma tersebut
kemungkinan kecelakaannya hanya 1 kali dari 50 kali berkendara. Contoh lain
lagi tentu banyak kita temui orang yang penakut ketika malam kepada hantu yang
bahkan tidak pernah ia temui, mungkin ketakutan tersebut terjadi karena ia
kebanyakan menonton film horror atau juga pada masa kecil ia sering
ditakut-takut I sehingga data tersebut mengendap di alam bawah sadarnya
sehingga ia ketika malam hari tanpa disengaja otaknya mampu merekayasa kejadian
serupa berdasarkan pengalamannya padahlpun tempat gelap hanyalah karena
kurangnya cahaya dan tidak ada bukti yang cukup valid akan adanya hantu.
Ketakuatan orang-orang era orba juga begitu terhadap PKI, berkat pengalaman
mereka terhadap seringnya menonton film G30S PKI yang katanya dulu ditayangkan
secara rutin dan bahkan dibuat nobar cukup memframing wajah PKI dengan
menyamakannya sebagai kumpulan orang-orang pembunuh dan Atheis. Wajah PKI
seperti itu yang terekam dimata masyarakat terdahulu sehingga ketika suatu hari
kata PKI kembali digaungkan orang-orang langsung siaga dan spontan akan
hadirnya PKI yang menyeramkan itu. Dengan kondisi masyarakat yang belum
disiplin rasio sangat mudah bagi oknum-oknum untuk mencocok-cocokkan PKI dengan
pihak lain, contoh karena warna merahnya, karena mempertanyakan tuhan, karena
Marxist nya dll. Melalui sosmed keriuhan tersebut menjadi semakin massive
sehingga timbul tuduh-menuduh tanpa bukti akibat reaksi panic masyarakat hari
ini.
Sederhananya hari ini tepatnya
era globalisasi dimana informasi menyebar terlalu cepat sehingga sangan mudah
tersampaikan kepala perkepala dengan kemampuan filter yang berbeda-beda
sehingga ada yg instan percaya ada yang tidak menyelami tapi turut berpartisipasi
dalam menyebarkan sehingga info yang bukan hoax berubah menjadi hoax serta yang
hoax turut dibudidayakan.
Bulan-bulan terakhir ini terjadi
missinformasi tentng Ratna Sarumpaet seorang aktivis kemanusiaan bahwa telah
teraniaya oleh beberapa oknum dengan kemasan informasi yang menciptakan framing
bahwa yang melakukannya adalah kubu lawan politiknya(pemerintah). Namun tak
lama kebohongan tersebut terendus dan akhirnya Ratna Sarumpaet sendiri mengakui
bahwa dia telah berbohong kepada public. Adapun
yang menganalisis alur hoax tersebut sebagai strategi “Firehouse of
Falsehood” yang gagal, salah satunya anggota DPR RI Budiman Sudjatmiko dan
Ahmad M Firdaus yang membaca beberapa indikasi yan mereka yakini sebagai
strategi tersebut. Yang menarik dari analisa mereka adalah pemilahan tentang
perbedaan kubu Progressive dan Konservatif bahwa Firehouse of Falsehood lebih identic
dengan pelaku berpemikiran Konservatif yang lebih dalam tinjauan biologis amygdala
mereka lebih aktif, amygdala adalah bagian sumber ketakutan sehingga manusia
dengan amygdala lebih aktif dari pada insulin cenderung membangun narasi yang
menakut-nakuti yang tentunya juga turut menjadi stimulus untuk mengaktifkan
amygdala masyarakat sehingga timbul keselarasan pemahaman. Sementara kubu
Progressive memiliki insulin yang lebih aktif sehingga mempunyai empati yang
lebih unggul yang menciptakan narasi-narasi lebih memotivasi terhadap
lingkungan. Contoh kubu konsevatif di Brasil yang memenangkan Bolsonaro dalam
pemilu menggunakan Firehouse Of Falsehood dengan menakut-nakuti masyarakat yang
dalam tanda kutip minim pendidikan dengan isu bahwa jika Progressive
memenangkan pemilu maka Brasil akan digabungkan dengan Venezuela, Chile dan Rusia
menjadi satu Negara yang namanya Ursal melewati social media dengan gencar, bagi
masyrakat yang berpendidikan isu ini memenag terkenal konyol namun Brasil sebagai
Negara yang telat menghapuskan perbudakan sehingga pendidikan menjadi teringgal
isu ini pun tak dapat dihindari dan Bolsonaro memenangkan pemilu.
Mutakhirnya teknologi informasi
hari ini tentunya menjadikan kita harus lebih kritis dalam mencerna informasi,
namun masalahnya dalam mengkritisi suatu informasi waktu yang kita butuhkan
terlalu lama sehingga isu-isu baru tersebut terlanjur basi dan tertimbun
isu-isu yang lebih baru padahal isu yang lama belum selesai kita selidiki. Disitulah
manusia hari ini ditantang oleh zaman untuk mencakup pengetahuan seluas-luasnya
dan membentuk rasionalitas secepat mungkin untuk menghindari kepunahan kita
sebagai manusia modern.
Write By: P. A. Ikhsanudin | 30 Oktober 2018
Komentar
Posting Komentar